Home » , » SEMUA AKAN KEMBALI KEASALNYA

SEMUA AKAN KEMBALI KEASALNYA


Karya Hikari Suri

“Jenni, kalo kita udah dewasa mau gak jadi istriku?”
Jenni tertawa ketika mengingat kata-kata itu, 15 tahun telah berlalu, hingga kini dirinya berumur 22 tahun, dirinya masih mengingat kata-kata yang diucap Reyhan itu padanya. Bahkan dia dengan bodohnya berharap mungkin Reyhan akan kembali ke Jakarta setelah sekian tahun pergi tanpa kabar, kemudian mewujudkan janjinya dulu padanya. Dengan segera, Jenni menggelengkan kepala mencoba meyakini hal itu gak bakal terwujud, namun dirinya tetap gak bisa menghalangi sebuah harapan masih tersisa dihati kecilnya. Dipandangnya rumah sebelah yang dulu ditempati Reyhan, yang kini hanya ditempati tukang kebun saja. Jenni pun yakin, Reyhan pasti sesekali masih kesana untuk sekedar beristirahat, tapi kenapa dia gak mengunjunginya?

Dengan sedih, Jenni mencoba menutup tirai kamarnya, namun tiba-tiba matanya terbelalak. Dirinya melihat mobil. Tentu dia gak akan seterkejut ini jika itu mobil biasa, tapi mobil ini berhenti didepan rumah Reyhan! Mungkinkah? Jenni segera berlari keluar kamar untuk melihat lebih lanjut. Namun yang terlihat turun dari mobil itu gak ada yang dikenalnya. Orang tua Reyhan juga bukan, dengan kecewa Jenni kembali kedalam rumah. Tak menyadari sepasang mata tengah memperhatikan dirinya. “Jenni, maafin aku,”
***

Semua Akan Kembali Keasalnya
“Sayang, masak yang ini juga. Ini bagus buat kulit, terus yang ini juga, ini juga,” Jenni memutar bola matanya demi melihat berbagai sayur yang tengah disodorkan ibunya. Mana mungkin dirinya memakan berbagai sayur sekali makan?
“Ah ibu… Kita masak sop saja, dan itu cuma butuh ini kol, kentang, dan wortel. Gak perlu bayam, atau kangkung, apalagi ini ketela buat apa? Satu satu dulu masaknya, ibu tunggu aja, biar Jenni yang masak,” ucap Jenni menyiapkan yang dia inginkan, ibunya hanya pasrah melihat anaknya. Namun tak juga dirinya bergeming, “Ibu mau buat semua sayur itu hari ini, jadi gak usah protes,” ucapan ibunya membuat Jenni menghela napas sambil memperhatikan ibunya bekerja.
“Ibu, siapa yang pindah kerumah sebelah?”
“Pindah? Gak ada yang pindah. Itu Reyhan yang datang, tapi orangtuanya katanya gak mau ikut,” jelas ibu Jenni, membuat Jenni terbelalak sekaligus gak percaya.
“Yang bener Bu?” tak sadar Jenni berteriak kegirangan, begitu sadar, dirinya segera menutup mulutnya, sebelum ibunya heran. Tangannya lincah meracik bumbu-bumbu, begitu pula dengan otaknya, lincah memikirkan cara dia bertemu Reyhan nantinya. Apakah Reyhan masih mengingatnya? Bagaimana tanggapan dia? Apakah dia sesenang dirinya sekarang ketika bertemu? Dengan tak sabar, Jenni segera menyelesaikan pekerjaannya guna bersiap-siap kerumah Reyhan. Senyum cerah tersungging dibibirnya.
***

“Hei Rey, emm gimana kabarnya? Lama ya gak ketemu,” Jenni tersenyum masam, kemudian segera menggelengkan kepalanya didepan cermin yang tengah memperlihatkan wajahnya yang tengah bahagia sekaligus gundah, “Ah, mana mungkin aku bilang gitu? Kayaknya sok akrab banget,” dengan menghela napas dirinya kembali memperagakan berbagai gaya yang akan dia pake ketika bertemu Reyhan nanti.

Sebelum dirinya berpikir untuk mengubah kata-kata untuk yang kesekian kali, dia membulatkan tekad untuk menemui Reyhan sekarang juga dengan cara senatural mungkin. Dengan langkah tegap bagai serdadu berangkat perang, Jenni membuka gerbang rumah Reyhan. Kemudian menoleh kesana kemari memperhatikan suasana rumah yang sepi. Satpam pun gak ada ditempatnya, dengan ragu Jenni memperhatikan mangkuk kolak ketela ditangannya. ‘masuk gak ya?’ batinnya ragu. Baru saja dirinya berbalik hendak pulang, sebuah sepeda motor hendak menabraknya. Hampir saja, Jenni mematung saking kagetnya, sedang kolak ditangannya jatuh, bukan karena tertabrak, namun karena dijatuhkan Jenni. Sedang sosok yang hampir menabraknya pun ikut terkejut, kemudian segera berlalu setelah mengucapkan “Bodoh”. Jenni hanya mematung ditempatnya.
“Tampannya…” ternyata, Jenni terkejut bukan cuma karena hampir tertabrak, tapi juga saking terpananya dengan pengendara motor barusan! Namun sedetik kemudian, wajahnya berubah cemberut “Gimana bisa dia ngatain aku bodoh? Dia yang gak liat ada orang disini! Dasar!” ucapnya sewot kemudian mengambil mangkuknya yang terjatuh tadi. Kemudian kembali terbelalak “Hah, jangan-jangan dia Reyhan? Ya ampuuun ganteng bangeet. Kasian banget sih jadi kasar gitu…” ucapnya gak jelas antara memuji dengan penyesalan.
***

“Gimana Pak Li? Dah pulang belum anaknya?” tanya Reyhan dari balik pintu dengan muka was-was. Sedang Pak Li, celingak celinguk memperhatikan dari jendela yang tertutup tirai. Kemudian mengacungkan jempolnya tanda Jenni telah pergi.
“Haaahh… Bodoh,” ucap Reyhan lebih menyerupai gumaman, lega, kemudian memerosotkan tubuhnya ke lantai. Pak Li yang khawatir, langsung memanggil satpam.
“Gak usah Pak Li, aku baik-baik saja. Kita kesini kan untuk refreshing, jadi jangan terlalu khawatir,”
“Anak itu, kalau anda ingin menemuinya kita bisa jadwalkan untuk itu,” ucap Pak Li, sedang Reyhan hanya menerawang langit-langit. Kemudian menggelengkan kepalanya lemah, kemudian tertunduk. Pak Li yang mengetahui suasana hati juga pemikiran tuannya, hanya terdiam. Dirinya pun tau sejarah antara Jenni dengan Reyhan, dan orang paling tau perkembangan keduanya selama mereka berjauhan. Maka dari itu, dirinya ikut sedih mengetahui sikap tuannya sekarang.
“Hah, Rey! Darimana saja kau?!” Reyhan maupun Pak Li segera menoleh, Reyhan langsung ketakutan melihat orang yang datang. Dion, kakak sepupunya langsung menyeret tangannya menaiki anak tangga menuju keatas.
“Kakak! Lepas,” tanpa mempedulikan permintaan adiknya, Dion terus menarik tangan Reyhan. Pak Li yang mengikuti dari belakang hanya pasrah ketika Dion mengomelinya, “sudah aku bilang, jangan biarkan anak ini keluar! Apa kerjaanmu Pak Li! Ngurus seperti itu gak becus!” ucap Dion yang segera mendorong Reyhan kekamarnya, kemudian menguncinya. Dirinya menulikan telinga mendengar teriakan Reyhan. Dengan menghela napas, Dion segera beranjak pergi.
“Kakak! Buka Kak!” dengan frustasi, Reyhan menggebrak pintu itu. Namun sekuat apapun dia mendobrak, pintu itu seolah gak bergeming. Tiba-tiba kepalanya kembali berdenyut dahsyat, dunia seakan berputar. Reyhan mencoba memegang kepalanya, berusaha meredakan rasa sakit itu, tubuhnya jatuh berlutut, sebelum akhirnya pingsan. Pak Li yang ada dibalik pintu masih bisa mendengar suara kesakitan tuannya. Dengan tergesa-gesa dia segera memanggil Dion untuk segera membuka pintu itu.
***

Reyhan membuka matanya dan mendapati dirinya dirumah sakit dengan alat infuse ditangannya, dan alat bantu pernapasan dihidungnya. Dion serta orangtuanya ada disana, semuanya memandang khawatir kearahnya.
“Sayang…”
“Aku gak apa-apa ma… gak perlu khawatir,” ucap Reyhan sebelum ibunya sempat berbicara. Dia memandang Dion yang kini tengah berseragam putih dokter.
“Kak…”
“Gak usah bicara. Diam, dan jangan kabur kali ini. Aku sudah jadwalkan operasimu minggu ini. Kita adakan pemeriksaan rutin minggu ini,” ucap Dion menghakimi. Sedang Reyhan hanya memandangnya memelas, Dion hanya memalingkan muka sebelum keluar ruangan. Diikuti orangtua Dion. Tak terasa air mata menetes dipipi Reyhan, kemudian dia memandang Pak Li yang memandangnya tak tega dengan pandangan nanar.
“Pak Li, kalo aku ketemu dia sekarang, apa dia akan menyesal telah bertemu aku?”
“Apa? oh… Haha… Apa maksud anda? Tentu saja dia tak bakal menyesal. Anda orang yang sangat tampan, juga punya masa depan yang cerah. Apa lagi yang perlu diragukan?” ucap Pak Li mencoba tertawa dan membesarkan hati tuannya. Reyhan segera bangun dan mengusap air matanya yang menetes sekali. Kemudian membuka alat bantu pernapasan juga alat infuse, membuat Pak Li kebingungan. Namun Reyhan bertekad akan kabur ‘lagi’ kali ini.
***

Jenni kembali mengintip jendela didepannya, namun tetap saja kosong. Dengan sebal, dia hendak kembali kerumahnya. Ya, dirinya sekarang tengah memandang jendela rumah Reyhan. Baru saja beberapa langkah, dirinya dikejutkan kedatangan seseorang yang turun dari taksi. Cowok yang sama yang dilihatnya kemarin malam.
“Sedang apa kamu disana?” tanya cowok itu, dengan pandangan sulit ditebak.
“Eh, aku… o ini, kebetulan tadi aku lewat sini. Jadi mampir, sory deh kalo ganggu,” ucap Jenni dengan perasaan malu, langsung berlari kearah rumahnya, begitu melewati cowok itu, hawa dingin langsung menyelimutinya. Ternyata cowok itu memegang tangannya, dan dia gak tau yang menyebabkan hawa dingin itu apa. Dengan pandangan bertanya, Jenni berbalik memandang cowok itu.
“Lihat, disini dikelilingi pagar, mana bisa kamu bilang kebetulan lewat sini? Bilang aja mau ketemu aku,” ucap Reyhan dengan tingkat PD 100%, Jenni menanggapinya dengan tak percaya kemudian tertawa.
“Hah. Haha… aku bahkan gak kenal kamu, mana bisa kamu bilang gitu?” Jenni kembali tertawa.
“Aku Reyhan, gimana?” Jenni yang tertawa langsung terbatuk seketika mendengar ucapan Reyhan. Kini gantian Reyhan yang tertawa melihat ekspresi Jenni yang menurutnya sangat lucu.
***

“Kenapa kamu kembali?”
“Kenapa? Apa aku gak bisa pulang kerumah sendiri?” Reyhan balik bertanya sambil memandang danau didepannya. Dulu, mereka sering menghabiskan waktu disini sepanjang hari untuk bermain dengan teman-teman mereka. masing-masing mengingat masa-masa dulu mereka masih kecil.
“Aku kan gak bilang kamu gak boleh pulang. Cuma heran aja, biasanya orang yang pergi terlalu lama gak bakal kembali,”
“Suatu saat aku pasti pergi lagi,”
“Kenapa?” tanya Jenni sedih mendengar pernyataan Reyhan, dirinya bahkan telah menunggu Reyhan selama ini, walaupun setiap hari dirinya berusaha untuk melupakannya. Mana bisa dia bilang seperti itu seenaknya? Reyhan menatap Jenni yang cemberut, membuatnya tersenyum. Bibir yang sama 15 tahun lalu.
“Apa kamu menyesal bertemu aku, kalau nanti aku pergi lagi?” tanya Reyhan membuat Jenni memandang kearahnya.
“Emm… Gimana ya?? Kalau orangnya ganteng kayak gini sih, kayaknya bakal nyesel kali ya,” ucap Jenni dengan nada bercanda, membuat Reyhan tertawa, juga bangga!
“Ya ya… aku memang ganteng sih, jadi susah deh,” balas Reyhan yang membuat Jenni menyesal telah memujinya. Kemudian mereka sama-sama tertawa. Tak terasa matahari hampir tenggelam, menciptakan bayangan indah diatas danau itu. Jenni menatap takjub pemandangan itu, dirinya gak akan pernah bosan memandangnya walau hampir tiap hari dirinya kesana. Reyhan menatap wajah Jenni dari samping, siluet yang cantik. Kemudian dirinya memandang matahari yang kini hampir semuanya terbenam.
“Semua bakal kembali keasalnya,” gumam Reyhan, tak bermaksud bicara dengan siapapun. Namun Jenni mengiyakannya.
“Hmm… pantatku sakit, tanahnya kasar nih. Pulang yuk?” ajak Jenni menatap Reyhan dikegelapan. Dirinya gak melihat wajah Reyhan yang penuh kesedihan.
***

“Aku harus gimana biar kamu nurut, hah!” Dion kembali memarahi adiknya yang hanya tertunduk.
“Kakak bilang kesempatanku hidup cuma beberapa persen. Gimana kalo aku…” belum sempat Reyhan meneruskan kata-katanya, Dion telah membekap mulutnya.
“Aku bilang diam. Aku pasti usahakan yang terbaik. Jadi aku minta kamu operasi minggu ini,”
“Aku gak mau, biar kayak gini. Aku masih bisa hidup,”
“Kamu…” Dion geram menghadapi sikap adiknya itu, kemudian kembali menarik tangan Reyhan. Reyhan yang tau maksud kakaknya, mencoba meronta. Namun kakak sepupunya jauh lebih kuat darinya. Selalu seperti itu, kakaknya akan terus mengurungnya sampai dia mau menurut. Kali inipun, Reyhan berusaha mencari cara untuk melepaskan diri. Begitu sampai didepan kamar, Reyhan mencoba menendang Dion. Dion yang terkejut terpelanting kebelakang, begitu melihat Reyhan kabur, Dion segera bangkit dan mengejar Reyhan. Namun adiknya telah jauh, dan dia gak tau kemana adiknya hendak pergi. Pak Li yang melihat dari arah dapur hanya memalingkan muka. Kemudian dilihatnya Dion keluar entah kemana, mungkin khawatir kalau-kalau adiknya kambuh lagi.
***

Jenni tersenyum-senyum semenjak makan malam, membuat orangtuanya heran. Dan kini didalam kamar, dirinya memandang langit-langit, namun pikirannya entah pergi kemana. Setiap kali sebuah bayangan Reyhan muncul, saat itu pula dirinya akan tersenyum. Kemudian dipandangnya jendela, terlihat rumah Reyhan yang berwarna hijau, balkon kamar Reyhan yang terang. Dia membayangkan Reyhan yang tengah menatapnya melalui balkon itu, membuatnya senang. Wajah yang sangat tampan itu tengah tersenyum. Sayup-sayup, Jenni melihat bayangan itu menjadi nyata.
“Reyhan!” Jenni terbelalak mendapati jika bukan bayangan Reyhan yang dia lihat, namun Reyhan! Benar-benar Reyhan dijendelanya!
“Ssssttt,” Reyhan memberi isyarat Jenni untuk diam dengan telunjuknya. Kemudian dia masuk kekamar Jenni yang bernuansa pink. Jenni yang penasaran bagaimana cara Reyhan masuk, segera mengintip ke jendela. Dan disana ada tangga yang biasa digunakan jika akan mengecat dinding.
“Ngapain pake tangga? Kan bisa lewat pintu?” tanya Jenni.
“Ah, gak ada tantangannya,” jawab Reyhan enteng, padahal dirinya gak ingin ditemukan kakaknya, mungkin saja kakaknya menanyakan ke orangtua Jenni, apakah dia disana sekarang.
“Apa ini sopan, seorang cowok masuk kekamar cewek?”
“Kamu gak suka?” tanya Reyhan sambil lalu, kemudian memandang interior didalam kamar Jenni yang ditata apik. Jenni hanya menjawabnya dengan gelengan kepala gak percaya.
“Kamarmu cantik banget,” puji Reyhan sambil duduk diranjang Jenni.
“Aku pengen jadi penata interior professional. Paling gak, aku harus bisa menata kamar juga rumahku sendiri dulu kan?” jawab Jenni tersenyum melihat Reyhan gak henti-henti memandang kamarnya.
“Hmm… Bagus-bagus, jadi kalo aku pulang nanti aku gak bakal bosan ya,” ucap Reyhan mengelus sprei Jenni yang berwarna pink muda.
“Maksudnya?” tanya Jenni gak ngerti yang dimaksud Reyhan.
“Kalo kita nikah nanti kan kamu harus membuatku betah dirumah,” jelas Reyhan enteng, membuat Jenni terkejut, kemudian tertawa. Mana ada orang sePD dirinya! Namun Jenni tak menyanggah perkataan Reyhan itu. Dirinya pun mengharapkan hal yang sama.
“Apa jawabanmu?”
“Kamu gak tanya apa-apa, aku harus jawab apa?” tanya Jenni heran mendapat pertanyaan aneh dari Reyhan.
“Pertanyaanku masih sama, seperti 15 tahun lalu,”
“Apa?” tanya Jenni pura-pura tak tahu, itu berhasil membuat Reyhan cemberut.
“Mana bisa kamu melupakan hal yang begitu penting?” Jenni menahan tawa mendengar Reyhan yang merajuk. “Aku bahkan selalu mengirimimu kado valentine, kado ulang tahun, mana bisa aku dilupakan begitu saja?” Jenni terkesiap, dirinya memang selalu mendapat kado-kado itu, namun tanpa nama. Baru diketahui sekarang siapa yang mengirim semua itu. Karena sibuk memikirkan semua itu, Jenni sampai tak menyadari Reyhan yang telah menuruni tangga.
“Rey,”
“Temui aku kalo kamu udah ingat pertanyaanku,” jawab Reyhan tanpa menghentikan acara turun tangganya.
***

“Aku kan belum menemuimu? Kenapa kamu mengajakku keluar? Udah gak marah?” tanya Jenni selama perjalanan kedanau. Reyhan hanya tersenyum, kemudian menuding sesuatu ditepi danau, diantara 2 pohon kelapa.
“Wow! Rey, kamu yang buat ini?” Jenni surprise mendapati sebuah ayunan disana.
“Tentu saja aku yang buat,” jawab Reyhan berbohong, karena yang mempersiapkan itu Pak Li. “Aku tau kamu gak nyaman duduk ditanah, makanya aku buatin ayunan buat kita,” jelas Reyhan. Jenni segera mencoba ayunan itu, walaupun sederhana, namun dibuat dengan kuat. Jenni segera mencari sulur berbunga disekitar sana, dan memasangnya dikedua sisi ayunan. Membuatnya semakin cantik. Reyhan mengacungkan jempolnya atas hasil karya Jenni.
“Duduk sini Rey, kita tunggu matahari sampe tenggelam lagi,” ucap Jenni, Reyhan segera duduk disampingnya, dan menggenggam tangan Jenni.
“Kenapa tanganmu dingin banget Rey?”
“Iya, aku kedinginan,” jawab Reyhan tersenyum, Jenni semakin menggenggam erat tangannya, kemudian bersandar dipundak Reyhan. Reyhan mengeratkan pegangannya pada bahu Jenni, seakan tak ingin melepaskannya.

Kenapa aku bodoh sekali selalu mengingatmu? Jika kamu bersedih nantinya karena kehadiranku, aku orang pertama yang gak bakal bisa maafin diriku sendiri.
“Besok aku jawab pertanyaanmu ya, tunggu aku disini,” Jenni tersenyum membuat Reyhan penuh harapan.
“Apa itu jawaban yang bagus?”
“Tunggu aja besok,” Reyhan gemas dengan sikap Jenni yang membuatnya penasaran.
“REYHAN!!” suara yang menggemparkan dunia mengejutkan dua insan yang tengah berkasih itu hingga Jenni hampir terjatuh karena Reyhan tiba-tiba turun dari ayunan dan mundur ketakutan.
“Kakak,”
***

“Kak, lepas kak! Malu ada Jenni kak!” seru Reyhan sepanjang jalan tangannya diseret Dion. Sedang Jenni yang tak tau harus gimana hanya cemas sambil mengikuti mereka sampai kamar Reyhan. Dia mencoba menjelaskan, namun sepertinya Dion tak mau dipengaruhi kali ini. Sampai kamar Reyhan, Dion gak cuma mendorong Reyhan masuk, tapi Dion masih menyeret Reyhan sampai kamar tidur. Kemudian mengeluarkan sesuatu dari sakunya, yang membuat Reyhan ataupun Jenni terbelalak.
“Kakak, jangan kak,” seruan Reyhan tak menyurutkan tindakan Dion, dia segera menarik tangan kiri Dion dan memborgolnya dengan ranjang. Tangan Reyhan yang satunya tak mampu menahan Dion. Jenni memandang semua itu dengan pandangan miris.
“Kamu harus operasi besok. Kondisimu harus stabil. Jangan kemana-mana,” Dion memberi ancaman kosong, karena Reyhan jelas tak bisa kemana-mana lagi.
***

“Reyhan kena kanker otak,” ucapan Dion diluar kamar Reyhan mengejutkan Jenni, melihat keterkejutan Jenni, Dion menambahkan, “tapi masih bisa disembuhkan asal segera operasi,” tambah Dion membuat Jenni sedikit tenang.
“Sejak kapan?”
“Aku juga gak tahu, yang pasti baru setahun ini gejalanya muncul. Begitu di cityscan, ternyata ada benjolan diotaknya. Dan untuk operasi itu sangat riskan, tapi melihat kondisinya yang selalu kesakitan, aku gak tega, dan keluarga setuju untuk mengoperasinya,”
“apakah akan berhasil?”
“Aku pun gak bisa memastikan. Sebenarnya kemungkinan untuk hidup lebih kecil, namun yang berhasil selamat juga banyak, aku meyakini operasinya akan sukses, mengingat benjolan itu belum terlalu besar,” jelas Dion, sesekali terdengar teriakan Reyhan dari dalam kamar.
“Yang kakak lakuin sekarang apa gak justru menyakiti Reyhan?”
“Ini demi kebaikannya, jadi kamu gak perlu khawatir. Dan kamu tau? Dia meyakini dirinya akan mati, jadi bersikeras kemari untuk menemui seseorang. Dan aku yakin orang itu kamu,” ucap Dion tersenyum, Jenni pun geli mengingat Reyhan dengan segala polahnya.
“Ya… pasti sulit juga harus jauh dari orangtua,”
“Begitulah, orangtuanya sendiri gak tega melihatnya selalu kesakitan. Mereka memaksaku untuk menyembuhkannya, kamu tau kan gimana sayangnya mereka?” Jenni mengangguk membenarkan ucapan Dion.
“KAKAK! AKU AKAN MEMBUNUHMU NANTI!! LEPASIN AKU SEKARANG JUGA!!” suara Reyhan terdengar sampai kedepan pintu. Jenni memandang pintu itu seolah bisa melihat Reyhan.
“Haha, mana mungkin aku melepaskannya kalo dia akan membunuhku nanti?” canda Dion, membuat Jenni ikut tersenyum, “Jangan khawatir, pulanglah,” Jenni pun mengangguk setelah melihat pintu kamar Reyhan sekali lagi.
***

Hari itu, Jenni beserta keluarga Reyhan ada dirumah sakit menemani Reyhan dari pemeriksaan awal hingga keruang operasi. Semuanya berdoa dengan khusyuk meminta keselamatan bagi Reyhan. Jenni menunggu dikoridor bersama Pak Li yang juga sangat cemas. Bagaimanapun Reyhan sudah seperti anaknya sendiri.
“Apa anda mencintainya?” pertanyaan Pak Li yang tiba-tiba mengejutkan Jenni, namun kemudian Jenni mengerti yang dimaksud Pak Li.
“Ya, aku sangat mencintainya. Entah kenapa, hanya keyakinanku yang membuatku belum bisa membuka hati untuk orang lain. Mungkin saja dia gak akan kembali, namun aku meyakini cintanya tulus waktu itu, hingga membuatku selalu teringat sampai sekarang. Bahkan sampai 15 tahun berlalu,” Jenni tertunduk sambil mengenang masa lalunya.
“Begitupula dengannya, dia laki-laki yang sangat pintar. Dan selalu ada tempat untuk sebuah nama, walaupun saya kira ini seperti cerita klise, namun nyatanya benar-benar ada laki-laki seperti Reyhan. Dia selalu membicarakan anda, selalu meminta saya mengirimi anda kado, dan selalu meminta pendapat saya tentang reaksi anda,” ucap Pak Li sambil tersenyum mengingat Reyhan yang selalu meminta foto Jenni.
“Haha, apa Pak Li juga memfotoku diam-diam?” Pak Li ikut tertawa, namun itu memang kenyataannya.
“Kenapa… kenapa dia gak mau menemuiku sebelumnya?” tanya Jenni tiba-tiba menjadi suram.
“Sudah saya bilang Reyhan laki-laki yang pintar, dia mencoba menumbuhkan rasa cinta sedikit demi sedikit dari anda, dengan begitu sekali dia muncul, anda akan mengenalinya. Sebenarnya, setahun yang lalu, dia ingin menemui anda, sekaligus secepatnya melamar anda. Namun ternyata dia didiagnosis terkena kanker otak, itu membuatnya sangat terpukul, dan dia menyuruh saya untuk tidak mengingatkan lagi tentang anda,” Pak Li bercerita dengan suara lirih sambil membayangkan wajah Reyhan tatkala itu, wajah yang sangat putus asa.
“Walaupun dia pintar, tapi dia ternyata juga bodoh ya,” ungkap Jenni terkekeh,”baru sadar kan dia gak bisa melupakan aku begitu saja?” Jenni melanjutkan, “tapi kenapa kado-kadonya selalu tanpa nama?”
“Yang benar? Saya selalu memberi nama untuk setiap kado itu,”
“Dimananya?”
“Ya… memang tersembunyi, tapi saya selalu memberi nama. Kalo anda tak tahu yang memberi kado itu, berarti misi saya untuk membuat anda jatuh cinta gagal?” Pak Li mengerjapkan matanya dan terbelalak. Jenni yang melihat itu menenangkannya sebelum kemudian tertawa.
“Sudahlah Pak Li, gak apa-apa. Nyatanya aku jatuh cinta walaupun tanpa kado itu,”
***

“Kenapa kamu gak pulang?” Jenni terkejut mendapati Dion telah ada disebelahnya.
“Reyhan… Pasti dia akan bertahan kan?” tanya Jenni penuh harap, walaupun operasi telah selesai, namun Reyhan masih belum sadar. Dion hanya membalasnya dengan anggukan lemah.
“Dia… Aku yakin walaupun dia nakal, dia pasti gak akan membuat semuanya khawatir. Aku sudah berusaha semampuku. Aku sangat menyayanginya, seumpama…” Dion tertunduk tak mampu meneruskan kata-katanya, tampak raut kesedihan juga kecemasan terpancar dari matanya. Jenni pun tak memaksanya berbicara, namun Dion meneruskan, “Aku orang paling bersalah seandainya ada apa-apa dengannya. Aku selalu memaksanya melakukan sesuatu yang gak disukainya, dan jika dia menolak, aku akan mengurungnya… mungkin… bagiku ini demi kebaikannya, tapi entahlah… apa dia bahagia, aku gak pernah memikirkannya,”
“Bukankah kakak bilang semua akan baik-baik saja?”
“Haha… Ya, pasti, semuanya akan baik-baik saja. Dan aku berjanji, setelah ini aku gak bakal memaksanya lagi. Kamu sebagai saksinya ya,” ucap Dion bersungguh-sungguh, membuat Jenni tersenyum kemudian mengangguk.
***

Semua menunggu Reyhan siuman diruangannya. Pengaruh obat bius masih menggelayuti matanya, dengan harap-harap cemas Jenni yang sedari kemarin menunggu hanya bisa berdoa. Ditatapnya wajah Reyhan yang berbalut alat bantu pernapasan, juga kepalanya yang telah botak karena operasi kemarin, seakan wajah itu tanpa ekspresi dan seperti enggan bangun. Tiba-tiba sebuah gerakan membuat semua yang ada diruangan itu siaga. Dan sangat perlahan, mata Reyhan terbuka, dengan terbukanya mata Reyhan, saat itu pula terdengar jerit syukur seisi ruangan. Jennipun hampir saja bersorak kegirangan.
“Rey…” panggil semua yang ada disana, Reyhan mencoba menjawab namun suaranya masih sangat lemah. Dion mendekatkan telinganya kemulut Reyhan.
“Katanya jangan keras-keras, suara kalian membuatnya pusing,” ucap Dion tertawa memberitahukan pesan Reyhan, semuanya gak ada yang bersuara, namun senyum kebahagiaan tetap tersungging dibibir mereka.
***

Seminggu kemudian.
“Rey, kamu tau… kakakmu menangis berhari-hari karena menyesal sering mengurungmu dikamar. Lucu ya… Kamu seharusnya tau betapa sayangnya dia padamu,” ucap Jenni sambil berjalan melewati rumah Reyhan. Sesekali diliriknya Reyhan yang berjalan disampingnya dengan tersenyum. Kali ini pun mereka akan ke danau. Selama perjalanan terdengar canda tawa mereka. Sebentar kemudian mereka telah sampai didanau. Reyhan dengan senyumannya berjalan mendahului melewati ayunan mereka yang indah dengan sulur yang baru. Kemudian dia berbalik dan tersenyum kearah Jenni, Jennipun berlinang air mata memandangnya. Dengan perlahan namun pasti, Reyhan semakin jauh menuju tepi danau. Jenni hanya memandangnya sambil duduk diatas ayunan. Makin lama, makin jauh Reyhan berjalan. Matahari hampir tenggelam, saat itu pula sosok Reyhan menghilang.
“Reyhan?” Jenni terkejut segera bangkit, namun sesaat kemudian dia menangis.
Tiga hari telah berlalu, kenanganmu akan aku bawa selalu. Kamu tau? Walaupun kamu belum mendengar jawabanku, aku jawab pertanyaanmu dulu dengan pasti, kalau aku mau jadi istrimu. Selamanya. Tapi kenapa kamu gak bisa nunggu lebih lama lagi? Dan memilih meninggalkanku sekarang?
Jenni menatap danau didepannya dengan pandangan nanar. Seolah wajah Reyhan masih terlukis disana. Tiga hari Reyhan telah meninggalkan semuanya, termasuk dirinya. Operasi yang berhasil tak mampu membawanya untuk tetap hidup, kondisinya semakin memburuk hingga ajal harus membawanya.

Angin semilir menandakan sebentar lagi matahari akan menghilang.
“Ya Rey, semuanya akan kembali ke asalnya. Dan kamu bodoh jika mengira aku akan menyesal telah bertemu denganmu, karena justru sekarang aku menangis… karena bahagia… pernah mengenal orang sepertimu…” setetes air mata kembali mengalir dipipi Jenni yang telah membentuk aliran sungai. Matanya yang sembab tetap menunggu matahari untuk terbenam, tangannya yang indah tetap menyentuh untaian sulur di ayunan milik mereka. satu yang membedakan, seseorang yang seharusnya bisa digenggamnya disamping ayunan itu yang telah membiarkan tempat itu kosong untuk selamanya.
THE END
Share this article :

1 comment:

Download Game Seru said...

ceritanya seru mengharukan

Post a Comment

Tuliskan komentar anda tetang postingan diatas !

 
Support : Mamang Website
Copyright © 2013 - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Mamang Photography